Selasa, 30 Juli 2019

Tembagapura Bikin Susah Move On

Haaai, sobat Megablog! Apa kabar, nih? Kayaknya udah lama banget nggak menyapa kalian semua lewat blog ini. Jadi, to the point aja, ya...

Beberapa tahun belakangan ini--tepatnya hampir 13 tahun--aku tuh belum bisa bener-bener ngelupain kota masa kecilku, Tembagapura, Papua. Aku udah melewati banyak hal di hidupku dalam kurun waktu 13 tahun tersebut, tapi apa? Yang masuk ke mimpiku kebanyakan seperti: 

1. Nyari-nyari seragam SMP, dasi, topi di ruangan laundry. 
2. Siap-siap baris di halaman depan sekolah YPJ Tembagapura.
3. Lari-lari di gang kelas SMP karena pindah kelas
4. Ngobrol sama sahabat-sahabat aku pas SMP (Sari, Nana, Gina)
5. Bahkan pernah, waktu aku hamil, mimpiku tuh isinya aku mau upacara tapi sahabatku bilang, "Kamu nggak usah ikut baris, kamu kan lagi hamil."
6. Dan akhir-akhir ini mimpi yang lagi menggila: berkali-kali mimpi lagi foto-foto dan ngerekam indahnya alam Tembagapura terus aku post di instastory. Dalam hati (saat mimpi) aku menggumam, "Indah banget! Pasti temen-temenku bakal iri liatnya."

Semua itu berlatar di Tembagapura.
Semua mimpi itu nggak pernah benar-benar hilang dalam waktu 13 tahun.
Dan semua mimpi itu bikin kecewa setiap aku ngebuka mata.
Kecewa, karena ternyata aku udah nggak di sana.

Sebelumnya, aku pernah cerita tentang indahnya Tembagapura di sini.

"Lebay banget susah move on! Emang kamu lahir di sana?!" 
Itu sih yang dulu temen-temen di Jawa bilang setiap aku cerita tentang keindahan Tembagapura. Memang, aku nggak bisa maksa mereka untuk ngerti gimana perasaanku. Toh, ke kota itu aja mereka nggak pernah. Gimana mereka mau ngerti seindah apa kota itu? Semembekas apa di hati orang yang pernah menempatinya sejak kecil?
Bisa dibilang, jauh di lubuk hatiku, Tembagapura justru seperti kampung halaman. Aku emang nggak lahir di sana, tapi sejak umurku 3 bulan dan sejak aku sudah bisa mengingat, aku tinggal di Tembagapura. Itu kenapa sewaktu aku harus pindah ke Jawa, rasanya ada bagian hati yang patah. Alasan pindah ke Jawa pun dapat kumengerti dan untuk beberapa poin, kepindahan ini kusyukuri, tapi tetap aja... kenyataan bahwa harus meninggalkan zona nyaman terasa pedih dan menyakitkan. Tinggal di Tembagapura tuh ibarat mimpi panjang. Pindah ke Jawa itu sendiri rasanya kayak dipaksa bangun dari mimpi yang membuat kita terlena.

Saat di Jawa, setiap kangen Tembagapura, aku selalu nyetel lagu Koes Plus di malam hari (karena Papaku suka banget nyetel lagu Koes Plus tiap malam saat di Tembagapura). Selalu aja nangis tiap nyetel itu. Jiwaku tuh kayak dirampas tanpa aku bisa membela diri.

Tembagapura juga bikin aku sadar: hidup yang orang tuaku beri ke aku tuh menakjubkan sekali :") sesuatu yang mungkin nggak akan pernah sanggup untuk kuberi pada anakku.

"Kalo emang susah move on ya datengin lagi, dong!"
Ya kalo itu kota terbuka sih, nggak usah ditanya deh. Tembagapura itu beda, sih. Bukan Bali yang karena kamu kangen alamnya bisa kamu datengi tiap kamu ingin (selama punya duit). Tembagapura, walaupun kamu punya duit untuk ke sana, nggak bisa sembarangan masuk karena itu area perusahaan. 

Jangankan bisa ngintip Tembagapura, sejak dari Timika aja, kamu bakal melalui beberapa proses cek ID Card untuk memastikan kalau kamu memang karyawan atau anggota keluarga karyawan perusahaan di sana. Koreksi kalo aku salah, karena aku juga nggak tau kondisi sistem terkini kayak apa. Sejauh aku tinggal di sana ya begitu. Nggak bisa asal nyusup.

Kalau dengar dari Om dan Pakdhe yang juga masih kerja di sana sih, Tembagapura sepertinya makin memperketat keluar-masuknya orang ke kota itu. Secara bis menuju Tembagapura-Timika dan sebaliknya aja dilapisi anti-peluru (mengingat kondisinya pernah kurang aman). Jadi kayaknya nggak ada tuh mobil perusahaan yang sliweran Tembagapura-Timika atau Timika-Tembagapura kayak zaman Papaku kerja dulu. Mungkin hal tersebut akan sangat berisiko jika dilakukan saat ini.

Kembali lagi soal mengunjungi Tembagapura. Pun kalau punya kartu VISITOR untuk mengunjungi Tembagapura, sebelumnya kamu harus punya teman/saudara/kerabat yang punya rumah di sana yang bisa kamu tumpangi sementara. Sekalipun banyak rumah/kamar barak yang kosong di kota itu, nggak bisa kamu tinggali seenakmu.

Dulu sih rumah Papa di Tembagapura sering banget ditumpangi istri atau saudara anak buahnya yang sekadar pengin main, liburan, dan lihat-lihat Tembagapura. Bahkan kakek, nenek, dan tanteku juga sempat memanfaatkan kartu visitor. 
Nah, untuk saat ini, kalau mau ke sana lagi artinya harus cari keluarga yang rumahnya mau ikut ditumpangi sementara dan itu nggak mudah, sayang. Apalagi, teman seangkatanku atau teman seangkatan Papa rata-rata sudah pensiun dari perusahaan itu. Belum pensiun pun, belum tentu rumahnya mau ditumpangi *siapa elooo?* wkwkwk.

Tujuanku menulis ini, ya aku pengin mengeluarkan uneg-uneg aja. Sekaligus menulis kembali apa yang dulu pernah kualami. Aku ingin menulis semua yang kuingat sebagai bentuk penerimaan bahwa aku pernah di sana, aku pernah mengalami banyak hal indah di sana, tak apa tidak di sana lagi yang penting kenangannya sudah kuukir di sini. 
 
Aku butuh menerima keadaan itu dengan menuliskannya di sini. Karena, sesungguhnya aku sadar betul, apa yang aku rindu adalah suasana dan kenangannya. Aku merindukan semua itu karena Papa, Mama, saudara, dan teman-temanku adalah orang-orang yang bersamaku di sana saat aku menjalani hidup di sana. Kalo saat ini aku mengunjungi kota Tembagapura lagi, aku sendiri nggak tau... apa rasa itu masih sama? Jadi kurasa semua perasaan yang belum tuntas ini terjadi karena aku kehilangan momen-momen di sana.

Well, sepertinya blog ini akan kugunakan untuk berkali-kali membahas Tembagapura, karena beginilah cara move on-ku. Rencananya aku bakal nulis Tembagapura dan:
-Keluarga (tentang keluargaku, kepindahanku, kenangan yang kuingat bersama keluargaku)
-Sahabatku (tentang hubungan persahabatanku yang manis dan kadang asem banget)
-Sekolahku (tentang sistem sekolah, cara guru mengajar, fasilitas, dan komponen yang paling bikin semangat sekolah: kakak kelas. wkwkwk)
-Alamnya (fasilitas kota)

Selain move-on dengan cara menuliskan kenangan yang kupunya, kuanggap ini juga salah satu cara agar kenangan itu sendiri tetap terjaga. Suatu hari jika aku merindukannya, bisa kubuka kembali. Juga sebagai bahan pengingat, bahwa Tuhan begitu mencintaiku dengan memberikan keindahan Tembagapura begitu lama dalam hidupku.

Salam,
Megashofani.