Kamis, 19 Desember 2019

Awal-awal Kelahiran dan Kepindahanku ke Kota Tembagapura

Mamaku bilang, aku adalah bayi yang hampir tidak tertolong. Mama kehabisan air ketuban sehingga aku kesulitan untuk keluar. Segala cara sudah dilakukan termasuk vakum, tapi nihil. Kurang pertolongan beberapa puluh menit saja, mungkin tidak ada aku. 

Mama selalu menceritakan ini berulang kali, sampai aku bisa menceritakannya kembali. Saat itu Mama sudah menunggu panik, cemas, kesakitan. Sedangkan suster-suster di sampingnya hanya berkumpul dan berunding secara tertutup, terlihat sangat serius.

Mama yang tidak tahan akhirnya menggertak mereka (maklum, buibu mau lahiran emang suka jadi ganas), "Sus! Bisik-bisik apa, sih? Ini gimana bayi saya?!"

Salah satu suster mendekati Mama. Dengan takut ia bilang, "Maaf, Bu, kami nggak bisa menangani ini. Ini harus dirujuk ke RSI, karena sepertinya harus sesar."

Mama makin ngamuk, "Lho kenapa nggak bilang dari tadi?! Cepat aku dibawa ke RSI!"

Akhirnya Mama dibawa ke RSI. Lahirlah aku, pada Jumat Kliwon, 17 Januari.

"Cewek lagi, Pah," ujar Mamaku di lain waktu saat Papa pulang cuti dari Irian Jaya (Papua). Papaku memang nggak menemani Mama lahiran karena baru dapat jatah cuti 3 bulan kemudian setelah kelahiranku.

Pada saat bersamaan Mama dan Papa mendapat telegram dari perusahaan yang berisi bahwa Pak Adji Wiranto (papaku) bisa membawa keluarganya turut serta ke Tembagapura (sebuah kota di area perusahaan tambang). Mamaku jelas senang! Sepuluh tahun menjalani long distance marriage, ditawari sebuah rumah di area perusahaan seperti mendapat durian runtuh. Dan di sinilah kehidupan kami yang indah bermula.

Mama segera mempersiapkan apa saja yang sekiranya dibutuhkan untuk menjalani kehidupan baru di Tembagapura. Tidak lupa, Papa dan Mama membawaku ke rumah sakit terdekat untuk melakukan medical check-up, memastikan bahwa aku boleh naik pesawat terbang di usia tiga bulan. Dokter pun mengiakan, membuat Papa makin semangat memboyong kami ke kota indah bernama Tembagapura. Mama juga membawa turut serta adik Mama ke Tembagapura, Bulik Harni, untuk membantu Mama memomong kami di sana.

Di foto ini aku udah 9 bulan, sih
Rumah pertama yang kami tempati di sana adalah rumah di komplek Borobudur. Terletak paling ujung dan paling atas (puncak dari kota Tembagapura), lokasinya dekat dengan air terjun. Kata Mama, pertama kali datang ke kota ini, rumah F-14 masih berantakan. Begitu tahu Papa sekeluarga akan menempatinya, barulah orang-orang dari townsite (divisi tata kota) membenahi dan memberesi rumah.

Orang-orang townsite bahkan kelakaban karena Papa tidak mengabari mereka sebelumnya. Mereka juga menyiapkan barang pecah belah (piring, gelas untuk peralatan makan kami), bahkan menyiapkan bahan makanan seperti sayur-mayur dan sosis sapi (yang mana kata Mama saat itu belum doyan). Karena Papa dan Mama punya anak balita, bahkan mereka memberikan mainan mobil-mobilan secara cuma-cuma.

Selang beberapa bulan, kami pindah lagi ke Street 22, ke rumah yang lebih lebar (walau bagi kami masih tergolong sempit untuk diisi 6 jiwa--pada saat itu).
Ini aku, yang tumbuh dan berkembang di Street 22, Tembagapura.
Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
ADA BAND - Yang Terbaik Bagimu

Begitulah terjadinya kepindahanku ke Kota Tembagapura. Aku mengenal kota ini bahkan sejak aku bisa mengingat. Jadi, bagiku kota inilah kampung halamanku. Di kota ini aku tumbuh, besar, dan berkembang. Bahkan saat ini, saat sudah setua ini, aku masih bisa mengingat jelas wangi embun pagi hari di kota ini, aroma kabut, dan birunya langit di hari Minggu.


Salam,
Mega Shofani.