Hmm... berawal dari liat cuitan dalam komunitas di platform "X", tiba-tiba aku jadi ingin menuliskan jawaban panjang-lebarnya di sini.
Aku pernah merasa benci sebegitunya pada orang tuaku, lebih tepatnya Papaku, karena suatu hal. Bahkan kami pernah tidak bertegur sapa selama tiga tahun lamanya. Iya, aku seingat itu dengan setiap detail yang terjadi dalam hidupku.
Lalu bagaimana aku bisa sampai tahap memaafkan dan menerima orang tuaku lagi?
Seperti yang kubilang, aku seingat itu dengan setiap detail yang terjadi dalam hidupku. Memang aku sempat membenci Papaku karena hal yang tidak bisa kuterima (saat itu), tapi dalam sela kebencianku, aku selalu ingat beberapa box pizza yang Papa bawakan sepulang rapat kerjanya untuk kumakan. Aku selalu ingat berdus-dus susu yang Papa bawakan sepulang kerja. Aku selalu ingat begitu banyak alat tulis yang kupinta untuk Papa bawakan dari tempat kerjanya. Aku ingat betul saat Mama harus kembali ke Jawa membangun rumah, Papa selalu menyediakan segepok uang lima puluh ribuan, untuk berjaga-jaga aku jajan dan belanja.
Masih banyak lagi daftar pemberian Papaku. Tidak bisa habis dalam satu halaman blog ini. Entah sudah berapa kebahagiaan yang Papaku berikan padaku.
Mungkin di mataku Papaku salah, tapi aku juga tidak pernah benar-benar melupakan betapa beliau berusaha membahagiakan anak bungsunya ini. Aku sangat bahagia kala itu. Aku merasa jadi anak paling beruntung. Kurasa, bahkan belum tentu anak seumuranku bisa merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Hidupku terasa sangat mudah sejak kecil berkat kerja keras Papa.
Kalau di "X" sering ada thread "Barang-barang yang dimiliki anak orang kaya saat sekolah", YA, aku memiliki itu semuanya. Berkat Papaku, orang tuaku.
Sebenarnya aku (mungkin) tidak bermaksud membenci Papaku saat itu. Hanya saja aku terpukul karena ternyata dunia orang dewasa bisa "seperti itu". Banyak sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Penuh kekecewaan, keputusasaan, dan amarah. Aku belum mengerti bagaimana mengelola perasaan-perasaan itu di usiaku saat itu sehingga membuatku jauh dari orang yang sudah membuat masa kecilku penuh kebahagiaan.
Namun kini sudah tidak lagi. Aku sudah menerima semuanya karena bagaimana pun beliau orang tuaku. Papa tidak pernah meninggalkan aku saat aku kesulitan bahkan saat (seharusnya) aku sudah bukan tanggung jawabnya lagi. Papa seperti melihatku dari kejauhan, tapi sigap menangkap saat aku terjatuh.
Dalam hidup ini, mungkin banyak hal-hal yang kita sesali... tapi setelah kupikir lagi, aku tidak menyesal menjadi anak orang tuaku.
Kalau bisa hidup kembali, kalau ada kehidupan lagi, aku ingin sekali mengulang kehidupan ini menjadi anak mereka lagi, anak orang tuaku lagi, mengulang masa-masa indah kami lagi.
Mari kita ulang lagi, tanpa harus ada bagian yang menumbuhkan amarah dan benci lagi.
Mari bertemu lagi.